Laman

Senin, 27 Juni 2011

Ketika Akal Telah Sempurna

Muhammad Taufiqullatif

Alumni Pondok Modern Darussalam Gontor

xMenjaga lisan sungguh penting. Akibat salah ucap, permusuhan dengan orang lain pun timbul. Kata pepatah, orang yang telah sempurna akal pikirannya, biasanya akan sedikit bicara dan lebih banyak melakukan amal shalih. Idzâ tammal-‘aqlu qallal-kalamu. Semakin sempurna ilmu seseorang, akan semakin sedikit pula ia berkata-kata.

Tapi adagium ini bukan bermakna bahwa diam seribu bahasa atau tanpa pergerakan dan anti-perubahan sebagai kesempurnaan. Tapi orang yang ‘âlim atau ‘âqil, adalah yang hanya melakukan sesuatu yang berguna dan meninggalkan perkataan yang sia-sia.

Orang ‘âqil tutur katanya mengandung hikmah, ucapan dan tingkahlakunya selalu membuat sekelilingnya nyaman. Segala yang diucapkan dan diperbuatnya seakan mengandung pelajaran yang diteladani.

Orang berakal adalah cermin orang beriman. Sebab salah satu tanda orang beriman adalah yang selalu berkata baik serta memuliakan tetangga dan tamu.

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Dalam kitab Syarh Riyâdh ash-Shâlihîn dijelaskan dua cara menjaga lisan. Yaitu dengan berkata baik, atau jika tak mampu maka diam. Artinya, diam berkedudukan lebih rendah daripada berkata baik, namun diam masih lebih baik daripada berkata yang tidak baik.

Dalam kitab yang sama juga dijelaskan bahwa kata yang baik terkait dengan tiga hal, sebagaimana disebutkan dalam surah an-Nisâ` ayat 114. Yaitu kecenderungan untuk bersedekah, amar makruf, dan berkata yang membawa perbaikan pada manusia. Di luar ketiga hal tersebut, perkataan yang ada bukan termasuk kebaikan, namun hanya sesuatu yang mubah.

Orang yang ‘âqil juga tercermin dari setiap perilakunya yang selalu membawa manfaat bagi manusia bahkan makhluk lainnya. Ia akan bersikap bijak karena bekal pengalaman hidupnya yang luas. Dalam segala tindakannya ia juga sadar bahwa ia selalu diawasi Allah. Ia tak akan pernah berani sedikitpun dekat dengan kemaksiatan. Wallâhu samî’un bashîr. Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat.

“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya kelak pasti akan dimintai tanggungjawabnya.” (QS al-Isrâ’/17: 36) “Apapun kata yang terucap pasti disaksikan oleh Raqib dan ‘Atid.” (QS Qâff/50: 18)

Lidah memang tak bertulang. Begitu sebut pepatah. Dan ”keseleo” lidah atau perkataan bukan hanya hasil permusuhan antar sesama manusia yang terhasil, ganjaran neraka juga siap menanti. Dalam sabda Rasulullah disebutkan, “Bukankah manusia terjerumus ke dalam neraka karena tidak dapat mengendalikan lidahnya.”

Dalam Hadis lain dinyatakan, “Tiap ucapan anak Adam menjadi tanggungjawabnya, kecuali menyebut nama Allah, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah kemungkaran.

Untaian hikmah sabda Rasulullah ini menegaskan bahwa berkata baik juga mencakup upaya menyampaikan kebaikan dari ajaran Allah dan Rasul-Nya (amar ma’ruf) dan memberi pengajaran kepada kaum Muslim, atau amar ma’ruf nahi mungkar berdasarkan ilmu. Perbuatan ini akan menjadi lebih baik jika disampaikan kepada orang yang ditakuti kezalimannya.

Kebaikan lisan merupakan hal berat nan sulit diwujudkan. Karena cukup manusiawi jika kebanyakan orang cenderung sombong, sum’ah, dan mengumbar diri jika telah mendapat jabatan, harta, atau berpendidikan tinggi.

Meski sejatinya, semakin menguning padi, akan semakin tunduk pula batangnya. Semakin tinggi dan pintar seorang yang áqil, arif dan bijak, akan semakin rendah diri pula kepribadiannya. Lisan dan sikapnya juga akan terjaga. Semoga kita dapat menjadi bagian dari mereka. Wallâhu a’lam

Selasa, 12 April 2011

Dalam Perintah ALLAH Pasti Ada Hikmah

Ibnu Taimiyah rahimahullah memberikan pelajaran yang amat berharga. Beliau menyatakan bahwa setiap ibadah pasti ada hikmahnya, entah itu kita tahu atau pun tidak. Berikut penjelasan beliau rahimahullah:

Setiap yang Allah perintahkan pasti ada hikmahnya, begitu pula yang Allah larang. Demikianlah yang diyakini oleh madzhab para fuqoha kaum muslimin, para imam dan kaum muslimin di berbagai penjuru negeri. Artinya di sini, tidak mungkin ada satu ibadah yang tidak ada hikmah di balik ibadah tersebut.

Semacam ibadah melempar jumrah, sa’i antara Shofa dan Marwah, perbuatan ini sendiri punya maksud untuk berdzikir pada Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَمْىُ الْجِمَارِ لإِقَامَةِ ذِكْرِ اللَّهِ

“Sesungguhnya sa’i antara Shofa dan Marwah dan melempar jumrah, tujuannya adalah untuk berdzikir pada Allah.”[1] Maka tidak tepat kita katakan tidak ada hikmah di balik ibadah mulia semacam itu.

Adapun melakukan hal yang diperintahkan dalam syari’at, lalu dikatakan tidak ada maslahat, tidak manfaat dan tidak ada hikmah kecuali sekedar melakukan ketaatan, artinya orang beriman cuma melakukannya saja, maka aku tidak tahu ada ibadah semacam ini.

Sumber: Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, 4/144-146



King Khalid Airport, 17 Shafar 1432 H (20/1/2011)

www.rumaysho.com

Senin, 11 April 2011

Muslim Menyembah Ka’bah dan Hajar Aswad?

Selasa, 05 April 2011 23:00 Muhammad Abduh Tuasikal Belajar Islam



Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah ditanya,
Bagaimana membantah orang atheis yang mengatakan, “Wahai kaum muslimin, kalian sendiri menyembah batu (hajar Aswad) dan berputar mengelilinginya! Lantas kenapa kalian menyalah-nyalahkan yang lain menyembah berhala dan patung/gambar?
Syaikh Sholeh Al Fauzan memberikan jawaban sebagai berikut,
Ini jelas kebohongan yang nyata, kami sama sekali tidak menyembah batu (Hajar Aswad), melainkan kami menyentuhnya dan menciumnya sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan. Ini artinya kami lakukan hal tersebut dalam rangka ibadah dan mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mencium Hajar Aswad adalah bagian dari ibadah sebagaimana kita wuquf di ‘Arofah, bermalam di Muzdalifah dan thawaf keliling baitullah (Ka’bah). Juga kita mencium Hajar Aswad dan menyentuhnya atau memberi isyarat padanya, itu semua adalah bentuk ibadah pada Allah, bukan berarti menyembah batu tersebut. Lebih dari itu, kita bisa beralasan dengan apa yang dilakukan oleh Umar bin Al Khattab radhiyallahu ‘anhuu ketika mencium Hajar Aswad. Ketika itu beliau mengatakan, “Memang aku tahu bahwa engkau hanyalah batu, tidak dapat mendatangkan manfaat atau bahaya. Jika bukan karena aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, aku tentu tidak akan menciummu.” (HR. Bukhari 1597 dan Muslim 1270)
Oleh karena itu, masalah ini adalah berkaitan dengan bagaimana umat Islam mengikuti tuntunan Nabinya dan bukan menyembah batu (Hajar Aswad). Jadi, sebenarnya mereka yang menyebarkan isu demikian telah merencanakan kebohongan atas umat Islam, kita sama sekali tidak menyembah Ka’bah. Bahkan yang kita sembah adalah Rabb pemilik Ka’bah. Begitu pula kita melakukan thawaf keliling Ka’bah dalam rangka ibadah pada Allah ‘azza wa jalla karena Allah-lah yang memerintahkan kita untuk melakukan seperti itu. Kita melakukan demikian hanya menaati Allah ‘azza wa jalla dan mengikuti tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sumber: 'Aqidatul-Haaj Fi Dhouil Kitaab was Sunnah, Syaikh Sholeh Al Fauzan, hal.22-23.
Di-translate dari http://fatwaislam.com/fis/index.cfm?scn=fd&ID=890

Riyadh-KSA, 2 Jumadal Awwal 1432 H (05/04/2011)
www.rumaysho.com

Selasa, 19 Januari 2010

PERSAHABATAN

Tiada mutiara sebening cinta..

Tiada sutra sehalus kasih sayang..

Tiada embun sesuci ketulusan hati..

Dan tiada hubungan seindah persahabatan..

Sahabat bukan

MATEMATIKA yang dapat dihitung nilainya..

EKONOMI yang mengharapkan materi..

PPKN yang dituntut oleh undang-undang..



Tetapi

Sahabat adalah SEJARAH yang dapat dikenang sepanjang masa..